Berada di ruang Cordoba Menara
165 Jalan TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Jakarta Selatan selama 4 jam tak terasa
membosankan, karena walaupun di luar cuaca sangat panas, tapi di ruangan
Cordoba terasa dingin. Saya dan teman-teman blogger berada di salah satu ruang yang ada di Menara 165 dalam
rangka menghadiri acara launching buku Prof.Dr.Ir Agus Pakpahan yang berjudul
PERKEBUNAN PEMERDEKAAN INDONESIA sekaligus diskusi dengan topik Kesuksesan Perkebunan Tanpa Kemajuan
Industrialisasi.
Setelah makan siang acara pun dimulai
dengan kata sambutan dari perwaklan Dirjen Perkebunan Bapak Dwi Pratomo
Sujatmiko, dalam sambutannya mengatakan “Tujuan Peluncuran buku ini bagaimana
untuk membangun perkebunan agar lebih baik lagi, dengan harapan membuka
cakrawala di era persaingan masyarakat. Buku Perkebunan Pemerdekaan Indonesia
juga berfungsi sebagi media transfer pengetahuan kepada masyarakat”.
Setelah Buku Perkebunan
Pemerdekaan Indonesa resmi diluncurkan acara diskusi pun dimulai bersama Prof.
Agus Pakpahan dan MT Felix Sitorus, dipandu moderator cantik. Perkebunan agro
bisa bersinergi dengan industri untuk mengurangi bahan baku impor. Menurut Prof. Pakpahan di Amerika pertanian menjadi
pemersatu masyarakat dan berhasil menghapus perbudakan di negara tersebut.
Permasalahan sekarang adalah pengelolaan lahan perkebunan, poin yang harus ditekankan “What people can do & what people can be”. Di Indonesia lahan pertanian dan perkebunan sangat luas, akan tetapi kita tidak bisa mengelolanya sehingga industri kita tidak maju. Contohnya perkebunan kelapa sawit yang luasnya berkali-kali lebih luas dari kota Jakarta, sangat disayangkan petani buruh hidup miskin. Mengambil contoh negara Korea yang lahan pertaniannya lebih kecil dari Indonesia, tapi dalam waktu 35 tahun bisa menjadi negara maju karena industrinya.
Perkebunan sebagai suatu sistem
pemerdekaan menurut Prof. Pakpahan dapat terwujud apabila melepaskan diri dari
karakteristik blueprint perkebunan kolonial yakni:
1. Pemihakan
pemerintah terhadap perusahaan besar melalui fasiltas HGU jangka panjang dan
penyediaan jaringan infrastruktur khususnya transportasi.
2. Memposisikan
ekspor komoditi primer atau produk antara sebagai prioritas utama sehingga
industri pengolahan/manufaktur di dalam negeri kurang berkembang.
3. Pelestarian
sistem ekonomi ganda yaitu sektor perkebunan modern (kapitalis kaya) dan sektor
pertanian pangan (subsisten/komersil miskin) yang berjalan di jalur
masing-masing, tanpa suatu keterkaitan integratif yang signifikan.
Tentang ekonomi ganda dengan implikasi “kemiskinan struktural”, Prof. Pakpahan melukiskannya dengan tepat dengan mengungkap kasus dikotomi “sawah-sawit”. Temuannya sangat menarik yaitu:
1. Intensitas
konflik agraris antara perusahaan perkebunan sawit dan petani ternyata
berbanding terbalik dengan rasio sawah penduduk: semakin kecil rasio
sawah-penduduk semakin tinggi intensitas konflik.
2. Sawah
(subsisten/komersil) menjadi “sumber kemiskinan” bagi petani sementara sawit
(kapitalis) menjadi “sumber kemakmuran” bagi “tuan kebun” karena sejak era
Sistem Tanam Paksa sampai sekarang “status” (sosial-ekonomi-politik) petani
pangan diposisikan jauh di bawah pengusaha perkebunan besar, sehingga proses
pembangunan menjadi bias kepentingan golongan tersebut terakhir.
3. Luas
sawah cenderung menyempit sementara luas sawit cenderung meluas, kini dalam
perbandingan 8:10, tetapi ekonomi sawah “mensubsidi” ekonomi sawit dalam bentuk
penyediaan pangan bagi mayoritas lapisan buruh perkebunan sawit, karena
perolehan devisa dari sawit tidak dialokasikan untuk penyediaan pangan nasional.
Di akhir acara
sesi tanya jawab berlangsung sangat atraktif, ada seorang bapak yang mengatakan
dengan penuh semangat bahwa kopi dan teh yang paling enak itu berasal dari
Kerinci Provinsi Jambi, tapi kopi dan
teh itu diekspor tidak bisa dinikmati sendiri. Dari meja para blogger yang
terlihat masih muda-muda, menurut moderator karena rata-rata yang hadir sudah
sepuh dan sangat menguasai ilmu perkebunan, ada blogger yang mengungkapkan
harapannya agar acara seperti Klompencapir diadakan kembali.
Tentang Tesis Agus Pakpahan: “Perkebunan sebagai
Pemerdekaan”
Sekilas sejarah perkebunan modern di Indonesia dimulai dari
tonggak perkebunan sebagai (wujud) penjajahan yaitu sistem tanam paksa yang diinisiasi J. Van Den Bosh tahun 1830. Sistem tanam paksa adalah revitalisasi
sistem eksploitasi ala VOC yaitu penyerahan wajib sebagian tanah dan tenaga
kerja untuk pertanaman komoditi ekspor (seperti teh, lada, kayu manis, kina,
tembakau, gula, kopi), serta penyerahan hasilnya kepada Pemerintah Hindia Belanda sebagai kompensasi pajak tanah.
Pada dasarnya sistem tanam paksa itu adalah perwujudan perusahaan negara di bawah kendali manajemen Pemerintah Kolonial. Seluruh surplus yang dihasilkan dari ekspor komoditi sepanjang era Sistem Tanam Paksa (1830-1870) itu
dikuasai oleh Kerajaan Belanda dan digunakan untuk pemulihan ekonomi negara
tersebut. Tercatat dalam masa 1836-1866 sistem itu memberikan surplus yang besar, sehingga Belanda dapat melunasi hutang-hutangnya dan selamat dari
kebangkrutan akibat perang.
Ketika sistem tanam paksa digantikan oleh sistem liberal pada
tahun 1870-1900, seiring kekalahan kubu konservatif dari kubu liberal di
Parlemen Belanda, pola eksploitasi serupa tetap berlanjut. Bedanya, kalau pada
era sistem tanam paksa eksploitasi dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
maka pada era sistem liberal dilakukan oleh "plantokrasi" perkebunan swasta besar
asing. Pertumbuhan perkebunan swasta asing pada sistem liberal difasilitasi
dengan pemberlakuan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, yang
meliberalisasi tanah dengan membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk
memperoleh hak "erfpacht" selama 75 tahun atas tanah yang tak dipakai rakyat.
Surplus yang dihasilkan perkebunan itu tetap mengalir ke negara induk
perusahaan swasta asing, dan relatif tak ada yang tersisa untuk pembangunan
ekonomi masyarakat lingkar perkebunan atau pedesaan Hindia Belanda umumnya.
Kemiskinan masyarakat pedesaan Hindia Belanda adalah dampak
Sistem Tanam Paksa dan Sistem Liberal yang paling menonjol. Gejala itu terjadi
di dua ruas lingkungan sosial perkebunan, yaitu di lingkungan struktur mikro dan
makro perkebunan. Di lingkungan struktur mikro, kemiskinan sangat nyata dialami
oleh lapisan kuli kebun yang statusnya tak lebih baik dari budak atau bahkan
hewan, seperti yang dipaparkan Jan Breman dengan sangat detil. Para tuan
kebun menganut prinsip bahwa kuli/buruh harus diupah pada tingkatan untuk hidup
berkekurangan, sehingga mereka terpaksa harus bekerja terus menerus.
Fakta- fakta historis Sistem Tanam Paksa dan Sistem Liberal
itulah yang mengukuhkan tesis “perkebunan sebagai penjajahan”. Introduksi dan perluasan
sistem perkebunan modern yang bersifat kapitalistik di Hindia Belanda telah
menciptakan struktur “plantokrasi” yang eksploitatif, sehingga pertumbuhan
perkebunan modern bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan tetapi menimbulkan kemiskinan struktural. Inilah dasar untuk menyimpulkan adanya
gejala “modernisasi tanpa pembangunan di sektor perkebunan" pada masa itu.
Bertolak dari struktur sosial-ekonomi perkebunan masa kolonial itu, lalu menarik garis ke masa sekarang, maka tesis “Perkebunan Sebagai Pemerdekaan” yang diajukan Prof. Pakpahan dapat dibaca sebagai sebuah intensi untuk "membalik arus sejarah" pembangunan perkebunan nasional. Perkebunan idealnya menjadi wahana sekaligus proses "pemerdekaan bangsa dari kemiskinan".
Bertolak dari struktur sosial-ekonomi perkebunan masa kolonial itu, lalu menarik garis ke masa sekarang, maka tesis “Perkebunan Sebagai Pemerdekaan” yang diajukan Prof. Pakpahan dapat dibaca sebagai sebuah intensi untuk "membalik arus sejarah" pembangunan perkebunan nasional. Perkebunan idealnya menjadi wahana sekaligus proses "pemerdekaan bangsa dari kemiskinan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkomentar. Komentar spam akan saya hapus.